Diabetes itu jahat. Dia memisahkan kami dari mbah putri. Beliau terkena diabetes sejak saya SMP. Itu sekitar 10 tahun yang lalu. Diabetes juga membuat mbah putri terkena stroke. Beliau tidak lumpuh. Namun kehilangan memorinya. Tidak mengenal siapa itu anak, cucu, suami, tidak tahu apa-apa. Tidak tahu bagaimana cara sholat, mandi, persis seperti anak kecil kembali.
Mbah putri sekarang sudah pergi.
Kepergian beliau tidak disangka-sangka. Siapa yang bisa menyangka datangnya mati? Jum’at pagi beliau tiba-tiba jatuh tidak sadarkan diri. Dibawa ke rumah sakit, masuk ICU. Jum’at sore, masih tetap tak sadarkan diri. Saat itu kelima anaknya yang berada diluar kota, baru datang dua. Tiga orang masih dalam perjalanan. Dua orang yang mendampingi, membisikkan kata “Laa I laaha Illallaah” tiada henti. Mencegah masuknya syaitan. Tensi beliau semakin turun. Menjadi 60/40. Mbah kakung, suami mbah putri, sudah mengikhlaskan apabila Allah memanggilnya. Beliau berkata kepada anak-anaknya, “nduk, le, ora usah susah. Kabeh wes diatur karo Allah. Umpomo ibumu dipundhut, bapakmu wes ikhlas. Bapakmu wes ridho, ibumu ga duwe salah opo-opo sing berarti.”
Menurut hadits, apabila seorang istri meninggal dunia dan suami ridho atas perbuatan istrinya, maka jaminannya adalah surga.
Ketika dua anaknya lagi datang, tensinya semakin turun. Menjadi 50/40. Satu lagi masih dalam perjalanan, namun sudah ikhlas dengan apapun yang terjadi. Lama sekali saat tensinya tetap 50/40. Pukul 20.00, seorang bude saya berkata, “ibu, asrif masih dalam perjalanan, sebentar lagi datang…tapi kami udah ikhlas bu. Sudah ikhlas kalau ibu pergi…anak-anak ibu disini semua..insya Allah sholih sholihah…bapak juga sudah ridho…”
Nafas beliau semakin jarang, sampai akhirnya tidak bernafas lagi. Kata Laa Ilaaha Illallaah semakin terdengar. Beliau sempat bernafas satu kali lagi. Sampai akhirnya monitor ECG tidak lagi menampakkan detak jantungnya.
Innaalillaahi wa inna ilaihi rooji’uun.
Pukul 21.00 saya dihubungi sepupu saya bahwa mbah putri meninggal dunia. Dia juga mengajak saya pulang. Saya ikut pulang, posisi di Surabaya. Adik-adik di Solo dan Malang juga ingin pulang, berusaha menghubungi orang tua saya namun tidak ada jawaban. Saya hanya berkata, “Pulanglah. Namun dengan cara yang paling aman. Tidak merepotkan siapapun.”
Mbah putri dimakamkan pukul 02.30 pagi. Tepat ketika adik saya dari Malang serta tante saya tiba dan mereka masih ikut menyolati. Memang kemarin saat Idul Adha, mereka tidak ikut pulang ke rumah mbah. Sedangkan saya masih berjumpa. Saya tiba di rumah mbah pukul 03.30.
Selama perjalanan, saya menguatkan hati bahwa ingin mendampingi ibu. Namun saat saya bertemu ibu saya, beliau tidak perlu dikuatkan. Tidak ada tangis yang menderu-deru. Semua sedih, tapi semua ikhlas. Mbah putri pergi begitu cepat. Tidak ingin merepotkan siapapun.
Terakhir kali bertemu mbah, saat Idul Adha kemarin. Sempat mencium tangan beliau saat akan kembali ke Surabaya. Saat itu entah mengapa, saya mengamati semua barang-barangnya. Kamar beliau, popok, susu, perlak. Sekarang mbah putri sudah tenang.
Kepergian mbah putri Insya Allah khusnul khotimah. Didampingi putra putrinya yang tak henti-henti membisikkan Laa I laaha Illallaah serta dengan keridhaan suami.
Selamat istirahat mbah putri. Semoga sakit mbah putri selama 10 tahun adalah cara Allah membersihkan dosa-dosa beliau, semoga diterima amal ibadahnya, dilapangkan kuburnya, diberikan tempat terbaik di sisiNya. Semoga Allah mempertemukan kita di surgaNya. Aamiin.