Tags
beach, berenang, Bottle tree, Denaya Lodge, egoiste cafe, Gili Cafe, gili gelato, gili trawangan, hotel aston, hotel ombak sunset, kursi pantai, lombok, lombok gallery, pantai, pantai senggigi, pelabuhan bangsal, penginapan gili trawangan, Prawn BBQ, romantic table, rute Mataram Gili, sate ikan, sate rembiga, sunbathing, Sunset, swimming
Seneng banget akhirnya bisa ke Lombok lagi! 😀
Kenapa saya lebih suka Lombok dibanding Bali : pantainya keren. Ini subyektif sih. Hehe.
Terus, banyak masjid dan nggak susah buat nyari makanan halal karena mayoritas penduduk Lombok itu muslim.
Pulaunya masih relatif sepi, mau kemana-mana deket. Naik motor juga nggak masalah. Meski hawanya agak panas dan rempong karena nggak ada kendaraan umum, tapi muter-muter Lombok itu menyenangkan.
Kali ini saya dan suami sukses traveling ke Gili dengan PP naik motor tanpa direncanakan sebelumnya. Turns out it was over expectation!
Biasanya untuk bisa menikmati sesuatu hal, saya dan suami harus merasakannya minimal dua kali biar lebih kerasa joyfull nya. Sebagai contoh saat naik Transformer the Ride di USS, pertama kali kami masih terkaget-kaget. Naik dua kali, baru kerasa seru bangett!
Pertama ke Gili udah kerasa serunya tapi masih kurang. Thats why we are coming back! 😀
Setelah searching rute dari Mataram menuju Gili, ternyata ada dua pilihan. Rute pertama adalah menyusuri Pantai Senggigi. Diperkirakan memakan waktu kurang lebih 2,5 jam. Rute kedua lewat Phusuk, harus naik turun gunung tapi bisa ditempuh dengan waktu yang lebih singkat. Kurang lebih 1,5 jam. Kedua rute tersebut terpampang jelas di aplikasi Sygic yang kami miliki. Aplikasi ini bisa berfungsi dengan baik dan nggak lemot kaya G**gle Maps.
Mengingat saat ini musim hujan dan motor yang kami pakai adalah Astre* Grand jaman purba, maka rute yang akan kami tempuh adalah menyusuri Pantai Senggigi. Kebetulan dulu lewat sana saat malam hari. Jadi penasaran juga gimana kalo siang.
Persiapan oke. Kami cuma bawa dua ransel dan jas hujan serta ransum secukupnya, pukul 09.00 kami berangkat dari rumah teman kami di Labu Api setelah mengisi bensin full (20.000 rupiah).
Penunjuk jalan ke Senggigi sangat mudah dipahami. Kami cuma kesasar satu kali karena ternyata jalannya searah, tapi bisa putar balik dengan mudah. Setengah jam perjalanan, kami sudah melihat pantai! Aaaaaaaaaaaaa. Saya tak henti-hentinya mengagumi keindahan alam di Lombok. Sepanjang perjalanan yang kami lihat hanya hijau dan biru serta cidomo (andong) yang banyak berlalu-lalang.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, sampailah kami di Jalan Pantai Senggigi. Di kanan kiri banyak terlihat kafe dan resort, hanya saja pantainya kurang menggugah selera jadi kami tidak berhenti.
Kemudian kami melewati sebuah spot yang bagus sekali. Pas di tepi pantai. Hanya saja berbentuk jurang karena kebetulan tempatnya di tanjakan dan diberi pagar di tepi-tepinya. Kami memutuskan untuk rehat sejenak menikmati hembusan angin dan keindahan pemandangannya. Masya Allah. Bahkan kamera tak sanggup merekam keindahan yang dilihat oleh mata.
Setelah rehat lima menit, kami melanjutkan perjalanan. Mulai tampak bule yang juga mengendarai motor dan membawa carrier. Whoaa. Mungkin mereka mau ke Gili juga. Rombongan 3 motor begitu. Hohoho.
Satu setengah jam kemudian sampailah kami di Pelabuhan Bangsal. Wah kok cepet. Padahal kecepatan ya maksimal 80km/jam. Waktu masih menunjukkan pukul 10.30. Setelah menitipkan motor, kami membeli perbekalan untuk dibawa ke Gili karena sudah bukan rahasia lagi kalo segala macam di Gili itu mahal XD.
Pukul 11.00 kami menyeberang ke Gili Trawangan dengan membayar 36.000 untuk dua orang. Sudah satu paket termasuk tiket perahu, wisata pantai dan karcis entah apalagi saya lupa. Seperti biasa karena bukan speedboat, kami satu perahu dengan berbagai macam barang dagangan yang akan dikirim ke Gili juga. Jadi jangan kaget ya 😀
30 menit kemudian sampailah kami di Gili Trawangan! \(ˆ▽ˆ)/
Oh sudah ada spot foto baru. Tulisan Gili Trawangan. Setelah berfoto ria, kami segera menyewa sepeda (100.000 untuk dua sepeda selama 24 jam) di dekat pelabuhan untuk kemudian mencari Denaya Lodge, penginapan yang sudah kami booking melalui agoda. 300.000 dengan fasilitas ac, kamar mandi, tv kabel, breakfast dan wifi. Meski skor di agoda nggak terlalu bagus, tapi karena suami lebih mementingkan fasilitas daripada ramah-tamah pegawainya, jadilah kami menginap disana.
Tujuan kami ke Gili kali ini adalah : berenang di pantai! Jadi kami memilih penginapan yang agak dekat pantai biar kalau basah nggak jalan jauh-jauh. Sengaja kami nggak snorkeling lagi karena kami sepakat tidak bisa menikmati snorkling di laut. Lebih kerasa horor daripada serunya XD
Sejam muter-muter Gili, penginapannya nggak ketemu juga. Nyari lewat map di agoda maupun tripadvisor sama-sama nggak ada yang bener. Penunjuk jalan ke arah penginapan pun sama sekali tidak kami lihat. Akhirnya kami menyerah. Mencari nomer telp penginapan dan kami ditunjukkan arahnya. Jauh banget dari yang ada di map. Hiks.
Ternyata dari pelabuhan langsung saja belok kanan menyusuri jalan utama, setelah sampai di Gili cafe di kanan jalan, masuk gang di sebelah kiri yang ada masjidnya lumayan besar. Di tembok gang tersebut barulah kami melihat ada papan penunjuk Denaya Lodge. Tapi mungkin hanya berukuran 30x15cm. Berbaur dengan papan penginapan lain.
Jarak dari gang ke penginapan sekitar 250 meter. Lumayan jauh. Kami sampai dan ternyata sudah ditunggu-tunggu. Kamar kami sudah siap dan bisa langsung masuk. Denaya Lodge hanya memiliki 4 kamar. Dan kamarnya nyaman sekali! Kondisinya persis seperti foto yang terpampang di agoda. Ternyata ada tambahan kulkas plus safety boxnya. Air mengalir dengan lancar dan tidak asin. Hanya saja wifi lagi rusak, untungnya bisa pakai wifi tetangga jadi internet tetap lancar. Untuk TV kabel awalnya eror. Akan tetapi setelah komplain, bisa lihat Starworld tanpa hambatan! Tidak disarankan untuk menyalakan AC dengan kondisi yang paling dingin karena selimut yang tersedia hanya selembar kain saja.
Then we were ready to swim. Menyusuri pantai mencari spot berenang yang pewe. Hmmm. Jatuhlah pilihan kami pada pantai yang agak sepi, tanpa ada perahu yang tertambat. Berenang di laut tanpa kacamata renang adalah sebuah kesalahan. Mata saya menjadi perih. Apalagi saya pakai softlens. Jadi benar-benar tidak bisa menikmati. Akhirnya saya memutuskan untuk menyewa masker snorkling seharga 25.000 untuk 24 jam. Finally im swimming on the beach! Wohoooo. Masih takut berenang di laut, saya nggak berani ke tengah sama sekali. Meskipun saya yakin pemandangan bawah lautnya jauh lebih indah dan banyak bule yang berenang di daerah itu, tapi tidak. Saya takut kena ombak atau terseret atau tenggelam dan sebagainya. Jadi cukuplah cuma di kedalaman maksimal satu meter.
Capek berenang, saatnya rehat cantik makan eskrim gelato. Kami beli eskrim di Kafe Egoiste daaann ternyata boleh menikmati eskrim sambil goler-goler sunbathing di pantai kafenya! Aaaaaaaa seneng bangeett gak harus beli makan cuma beli eskrim udah boleh pake pantainya hihihi.
Btw kafe egoiste ini dapet rate yang lumayan tinggi dari tripadvisor, tapi saya belum berani coba menunya. Lumayan overpriced. XD
Puas berenang dan goler-goler, saatnya membersihkan diri dan siap-siap hunting sunset. One of the best sunset in the world. Oleh mas penjaga penginapan, kami diberi petunjuk jalan pintas bila ingin melihat sunset. Yang biasanya harus ditempuh 20 menit, ini bisa ditempuh 10 menit saja tanpa melewati keramaian.
Kelaperan belum makan siang, kami bertekad nyari tempat makan buat spot dinner sekaligus menikmati sunset. Kami melewati Hotel Ombak Sunset. Uhh cantiknyaa. Ada ayunan di pinggir pantai jugaa tapi pasti mahal. Cuma lewat aja deeh. Sampai ke ujung sunset point di Aston, kami belum menemukan tempat yang sreg. Akhirnya cukup menikmati sunset saja. Makan malam gampang laah.
Sunset tetap cantik. Selalu indah untuk dinikmati. Hanya saja langit sedang berawan sehingga matahari tampak hanya sebentar saja saat benar-benar akan tenggelam. Sekali lagi saya berterima kasih kepada Allah, telah diberi kesempatan melihat pemandangan menakjubkan ini bersama suami tercinta. 🙂
Setelah dipuaskan oleh sunset, saatnya mengisi perut yang masih kosong. Saya pengen steak seafood. Di tempat yang bukan bar atau yang biasa dipakai dugem dan bisa menikmati angin malam di pantai. Agak repot juga nyarinya. Pilihan kami jatuh pada Cafe Gili yang letaknya tepat di depan gang penginapan. Suami memesan prawn BBQ dengan harga 65.000/100gr disajikan dengan salad, saus dan kentang goreng. Sedangkan saya memesan fillet ikan BBQ dengan sajian yang sama seharga 70.000 per porsi. Saus BBQ nya kurang nendang, tapi kami diberi saus lain dari paprika dan rasanya unik sekali. Sepintas melihat rasanya nggak bikin kenyang, tapi saat sudah selesai makan rasanya kenyang banget. Kafe diatur sedemikian rupa sehingga tampak romantis dengan hiasan lilin dan lampu. Kami disuguhi pemandangan pantai bersama kelap kelip lampu dari kapal yang terparkir maupun yang mencari ikan. Suasana ini mirip kalau mau dinner di Jimbaran. 🙂
Fyi, beberapa kafe di Gili ada yang memasukkan biaya tax 10% dan service 5% ke dalam daftar harga, namun ada juga yang tidak. Sehingga harus berhitung dengan cermat bila nggak ingin kebobolan.
Satu lagi yang wajib dari Gili adalah terang bulan nutella di Pasar Seni dengan harga 18.000. Iya saya norak. Di Bojonegoro nggak ada terang bulan nutella. Meski saya juga masih ngidam yang rasa green tea, red velvet, oreo, yang sayangnya di Gili juga belum ada 😦
Malam adalah saatnya tidur, meski bagi para bule itu adalah saatnya dugem.
Sarapan pagi kami dipersembahkan oleh penginapan dengan menu roti panggang dengan telur mata sapi serta minuman hangat. Rasanya tawar sekali. Untung masih ada garam dan merica sehingga sedikit bisa dinikmati.
Karena pukul 11.00 harus checkout, maka harus bergegas menuju spot-spot terakhir yang ingin kami tuju. Kebetulan saat sunset kami sempat melihat akan tetapi belum bisa menikmatinya. Dan inilah saatnya mumpung masih ada waktu.
To do list untuk pagi itu adalah :
Bersepeda keliling Gili
Menikmati romantic table
Melihat bottle tree
Menikmati kursi jomblo
Sayangnya untuk bersepeda keliling Gili belum sempat terealisasi karena jalannya masih dalam perbaikan. Namun kami sudah mengelilingi 2/3 Gili dan rasanya cukup memuaskan hati.
Mendekati Hotel Aston, kami melihat romantic table. Wah yang bikin niat banget! Batin saya. Sampai dikasi papan penunjuk arah, kemudian ada tatanan meja dari kayu dan daun kelapa yang diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk love. Tepat di bawah hiasan daun kelapa juga ada coral yang diatur sehingga membentuk love. Lucuuuu.
Puas berfoto di romantic table dan karena sudah ada pasangan yang antri mau menikmati juga, kami beranjak ke bottle tree. Ini saya sendiri yang menamai sih. Sebuah pohon tanpa daun, dengan berbagai macam botol di setiap ujung dahannya. Seperti sebuah sindiran bahwa seiring dengan menikmati keindahan alam, maka kita juga harus turut menjaga kelestariannya. Jujur menurut saya, Gili bukanlah sebuah pulau yang bersih. Sampah bisa berserakan dimana-mana. Tapi kalau di resort mewah ya sudah pasti bersih karena sudah ada yang dibayar untuk itu. Sebuah pe er bagi pengelola Gili agar kedepannya bisa lebih memperhatikan kebersihan pulau.
Spot terakhir yang kami kunjungi yaitu kursi jomblo. Hahahaa. Saya melihatnya secara tidak sengaja saat sunset, ada sebuah kursi agak menjorok ke tengah laut yang diduduki oleh pasangan bule. Letak kursi tersebut di dekat Sunset Bar, yang bila pagi-siang hari sangat sepi sekali. Kursi itu benar-benar sendirian di tengah laut. Tapi bisa jadi spot romantis untuk menikmati sunset bersama pasangan.
Saat to do list sudah dinikmati semua, akhirnya kami kembali ke pelabuhan Bangsal dengan menggunakan perahu seharga 30.000 untuk dua orang. Kami membayar 10.000 untuk biaya parkir motor menginap 24 jam. Kemudian meluncur ke restoran dekat pelabuhan Bangsal untuk makan siang bersama rekan suami saya.
Restoran tersebut sangat sepi. Dari luar tidak tampak seperti rumah makan. Selain resto, Lombok Gallery juga menyediakan souvenir serta mutiara lombok. Jadi untuk pelanggan yang ingin mencari souvenir dari Gili/Lombok tidak perlu jauh-jauh ke Mataram. Kami menikmati sajian Ayam Bakar Madu Taliwang, Udang Goreng Telur Asin, Ikan Goreng serta Cah Kangkung. Rasanya mantap! Dengan harga yang tidak terlalu mahal, restoran ini sudah mampu menyediakan makanan khas Lombok yang endes bangeet. Satu lagi poin plus nya, yaitu bisa menikmati makanan sambil melihat pemandangan sawah dan gunung yang terhampar di sekitar restoran.
Oleh rekan suami saya, kami diberi oleh-oleh sate ikan. Rasanya seperti otak-otak. Namun bila otak-otak bertekstur kenyal, sate ikan ini benar-benar rasa daging ikan yang diberi bumbu kemudian dipanggang. So yummy!
Untuk kuliner Lombok lainnya yang tidak boleh terlewat adalah Sate Rembiga. Namun untuk rasa sate asli harus mencari di daerah Rembiga yang letaknya agak jauh. Akan tetapi kita masih bisa menjumpai di daerah Cakranegara, depan toko Tiara. Seharga 20.000/10 tusuk. Jangan melihat Sate Rembiga hanya dari penampakannya saja. Sekali coba, bakal ketagihan teruss!
Dalam 2×24 jam berakhirlah petualangan kami di Lombok. Kami masih ingin kembali lagi mengingat masih banyak list pantai yang belum kami kunjungi. Well. Tidak pernah bosan ke Lombok. 🙂
For more pics you can visit my instagram @fidalathifah