Disini saya akan bercerita tentang lingkaran yang menyelimuti gaya hidup seorang dokter. Informasi ini saya peroleh dari ayah saya, yang juga seorang dokter. Beliau mengatakan, “Jadi dokter itu, kamu bisa bertanggung jawab untuk dirimu sendiri. Memutuskan apakah kamu akan memilih hal yang baik atau sebaliknya. Kamu tidak perlu merasa terbebani oleh sistem ataupun korupsi disana-sini. Ya, kamu bebas. Bebas menentukan jalan yang kamu pilih.”
Namun apakah berarti menjadi dokter itu benar-benar bebas dari godaan? Whoaa. Pikiran saya salah besar.
Yang saya baru tahu, ada permainan obat antara dokter dengan perusahaan farmasi.
Di Indonesia yang belum ada aturan yang jelas tentang gaji dokter, pemasukan dokter berbanding lurus dengan jumlah pasien (dari jasa pelayanan) juga berbanding lurus dengan resep obat yang dia tulis.
Begini, perusahaan farmasi mempromosikan produk obat dari pabriknya kepada dokter melalui detailer (semacam salesman). Detailer tersebut yang menerangkan kepada dokter tentang cara kerja obat, efek samping, kelebihan dibanding produk dari perusahaan lain, dan juga mungkin…bonus yang akan dokter dapatkan ketika dia menulis resep pembelian obat itu kepada pasiennya.
Detailer akan berusaha meyakinkan dokter agar sesering mungkin menulis resep obat yang dia tawarkan, agar banyak pasien yang membeli obat itu, dan dengan semakin banyaknya obat yang dibeli, semakin banyak keuntungan yang diperoleh perusahaan farmasi yang memproduksi obat tersebut. Yah, bisnis. Karena untuk membuat satu produk obat, perusahaan farmasi juga mengeluarkan banyak sekali biaya terutama untuk penelitian. Penelitian bahwa obat itu benar-benar efektif, efisien, dan safe untuk digunakan oleh pasien.
Sebenarnya tidak masalah jika apapun bonus yang dijanjikan oleh perusahaan farmasi itu diabaikan oleh dokter. Dokter hanya menulis resep obat itu, jika memang ada indikasi pasien membutuhkan dan obat tersebut adalah pilihan yang terbaik.
Namun kenyataannya, ada dokter yang menekan kontrak dengan pabrik farmasi di awal. Sehingga, dia diharuskan menulis resep obat dalam jumlah tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Jadi apa yang dia lakukan ketika kontraknya sudah hampir habis sedangkan dia belum memenuhi kuota yang diharuskan? Dia akan meresepkan obat tersebut kepada pasien yang kurang atau bahkan tidak membutuhkan. Dengan itu, sejumlah keuntungan yang diperoleh perusahaan farmasi akan diberikan kepada dokter dalam bentuk bisa uang tunai, atau jalan-jalan keluar negeri, atau bahkan seminar-seminar kesehatan yang hampir selalu diselenggarakan di hotel berbintang. Istilahnya, dokter main obat. Siapa yang membiayai? Pasien.
Lalu, apakah salah ketika tau ada bonus, kemudian dokter meresepkan obat itu kepada pasien? Tidak salah, asal niatnya agar pasien sembuh dan itu adalah pilihan obat yang terbaik. Serta tidak dikejar oleh kuota karena memang tidak ada kontrak apapun dari awal. Bonus akan selalu ada, ketika dokter sudah dianggap ‘cukup’ meresepkan obat tertentu. Yang salah adalah ketika dokter meresepkan obat dengan niat agar sebanyak mungkin bisa memperoleh bonus dari perusahaan farmasi.
Jadi, dokter, apa niatmu?